Budaya Jakarta merupakan budaya mestizo, atau sebuah
campuran budaya dari beragam etnis. Sejak zaman Belanda, Jakarta merupakan ibu
kota Indonesia yang menarik pendatang dari dalam dan luar Nusantara. Suku-suku
yang mendiami Jakarta antara lain, Jawa, Sunda, Minang, Batak dan . Selain dari
penduduk Nusantara, budaya Jakarta juga banyak menyerap dari budaya luar,
seperti Budaya arab, Tiongkok, India, dan Portugis.
Suku Betawi sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan
oleh penduduk pendatang. Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke
wilayah-wilayah yang ada di provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten. Budaya
Betawi pun tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun budaya
barat. Untuk melestarikan budaya Betawi, didirikanlah Cagar budaya di Situ
Babakan.
Sejak dulu memang sudah banyak perdebatan mengenai asal mula
beragam budaya yang kini ada di Betawi. Paralel dengan perdebatan sejak kapan
kaum Betawi eksis. Pakar masalah Betawi seperti Ridwan Saidi mengungkapkan
bahwa orang Betawi sudah ada sejak jaman Neolitikum. Sementara Lance Castle,
sejarawan Belanda, mengatakan bahwa yang disebut kaum Betawi baru muncul pada
tahun 1930, saat sensus penduduk dilakukan. Pada sensus penduduk sebelumnya,
kaum Betawi tidak disebutkan. Kala itu sensus memang dilakukan berdasarkan
etnis atau asal keturunan.
Namun terlepas dari itu, memang kemunculan kaum Betawi baru
terdengar secara nasional pada saat Muhamad Husni Thamrin mendirikan
Perkoempoelan Kaoem Betawi.
Sebelumnya etnis Betawi hanya menyebut diri mereka
berdasarkan lokalitas saja, seperti Orang Kemayoran, Orang Depok, Orang Condet,
Orang RawaBelong dan sebagainya.
Lalu bagaimana dengan munculnya ragam budaya di Betawi ?
Mengenai hal ini, tak dapat dipungkiri bahwa mulai terjadi saat Sunda Kelapa
Menjadi Pelabuhan Internasional yang ramai dikunjungi kapal-kapal asing pada
abad 12. Kemudian pada abad 14 sampai 15, Sunda kelapa dikuasai Portugis.
Mereka juga banyak memberi pengaruh kebudayaan yang kuat kala itu.
Padat tahun 1526,
Pangeran Fatahillah menyerbu
Sunda Kelapa dan menamakan daerah kekuasaannya dengan nama Jayakarta . Sejak
dikuasai Fatahillah, kota Jayakarta banyak dihuni oleh orang Banten, Demak dan Cirebon.
Lalu saat Jan Pieterzoon Coen menguasai Jayakarta dan
mendirikan Batavia, dimulailah mendatangkan etnis Tionghoa yang terkenal rajin
dan ulet bekerja untuk membangun ekonomi Batavia. Coen juga mendatangkan banyak budak dari Asia
Selatan dan Bali.
Perlahan tapi pasti kebudayaan di Batavia kala itu semakin
semarak saja, karena setiap etnis biasanya juga membawa dan mempengaruhi
kebudayaan setempat.
Ditambah lagi umumnya para budak atau etnis tertentu yang
didatangkan ke Batavia adalah pria. Sehingga disini mereka kemudian kawin
dengan wanita setempat dan beranak pinak.
Disaat bersamaan pula para pedagang dari Arab dan India juga
terus berdatangan, oleh Belanda mereka di tempatkan di Pekojan. Semakin hari
semakin banyaklah pendatang dari India dan Arab, akhirnya mereka pindah ke
Condet, Jatinegara, dan Tanah Abang. Tak heran masih banyak warga keturunan
Arab di daerah-daerah tersebut.
Sementara para anak keturunan bangsa Portugis ditempatkan di
daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.
Dengan semakin beragamnya etnis di Betawai, maka setiap
etnis biasanya mempengaruhi setiap perayaan etnis Betawi. Seperti budaya
penyalaan petasan, Lenong, Cokek, hingga pakaian pernikahan adat Betawi yang
didominasi warna merah, itu semua dipengaruhi kuat oleh budaya Tionghoa.
Kemudian etnis Arab sangat mempengaruhi musik gambus dalam
warna musik marawis dan Tanjidor.
Tanjidor sendiri adalah perpaduan budaya Eropa, Cina, Melayu dan Arab.
Sementara di kampung Tugu terkenal dengan budaya keroncong yang bersal dari
Portugis.
sumber : http://senibudayabetawi.blogspot.com/2011/02/budaya-betawi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar